Rawan Korupsi Kebijakan Bencana

Oleh: Yuris Rezha Kurniawan (Peneliti Caksana Institute)

Tulisan ini terbit pada kolom opini kumparan.com tanggal 28 April 2020

Pengelolaan kebijakan bencana tak jarang berbuntut pada praktik korupsi. Sebut saja dana rehabilitasi bencana tsunami Aceh yang menjerat salah seorang bupati. Begitu pula di Jogja, beberapa pihak terseret kasus korupsi rehabilitasi dana bencana gempa. Paling aktual, praktik korupsi juga ditemukan pasca bencana di Mataram, Nusa Tenggara Barat dan Palu, Sulawesi Tengah. Data ini cukup menunjukkan adanya potensi praktik korupsi yang cukup besar dalam kondisi bencana.
 

Bencana dan Korupsi

Hubungan Kebijakan penanggulangan bencana dengan praktik korupsi memang cukup menjadi perhatian. Bahkan tidak hanya di Indonesia, namun juga di berbagai belahan dunia. Studi Federasi Palang Merah Internasional misalnya, menunjukkan 5 persen dari total anggaran penanggulangan wabah ebola di Afrika Barat periode 2014-2016 disalahgunakan melalui praktik korupsi (IFRC, 2017).
 
Terdapat setidaknya tiga faktor yang menjadi alasan mengapa dana bencana rawan di korupsi. Pertama, kondisi bencana menuntut pemerintah untuk bekerja secara taktis. Maka, kebijakan yang dibuat seringkali terpusat dan cenderung monopolistik untuk mempermudah koordinasi dalam penanggulangan bencana. Hal ini ditunjukan dari beberapa kebijakan penanganan penyebaran COVID-19 yang dikontrol secara sentralistik melalui pemerintah pusat.
 
Kedua, kondisi bencana juga menuntut pemerintah untuk bekerja secara cepat dan fleksibel. Maka tak jarang, kekosongan hukum serta hambatan dari peraturan perundang-undangan akan diterobos. Implikasinya menciptakan ruang diskresi yang cukup besar bagi pemerintah. Penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dalam hal ini dapat dipandang sebagai sebuah diskresi yang dilakukan pemerintah. Salah satu muatan regulasi tersebut adalah mengubah kebijakan anggaran negara yang pada kondisi umumnya diharuskan melalui persetujuan anggota dewan dengan dasar hukum undang-undang.
 
Ketiga, kondisi bencana akan selalu diikuti dengan adanya aktivitas pemberian bantuan dan rehabilitasi pasca bencana. Hal ini yang dalam studi Leeson dan Sobel (2007) disebut sebagai rejeki “nomplok” pasca bencana. Seiring dengan banyaknya sumber daya yang disediakan, maka semakin banyak pula pihak-pihak yang berpotensi mengambil keuntungan pribadi dari kondisi tersebut.
 

Rawan Korupsi dalam Kebijakan Bencana

Terdapat dua fase yang menjadi titik rawan terjadinya korupsi dalam kondisi bencana. Fase pertama adalah korupsi dalam proses perumusan kebijakan. Pada fase ini, seringkali praktik korupsi memang sulit untuk terdeteksi, meskipun bukan berarti tidak mungkin terjadi. Kondisi ini dapat disebut sebagai korupsi kebijakan atau dalam bahasa Stigler (1971) dikenal dengan istilah sebagai regulatory capture.
 
Regulatory Capture melihat fenomena bahwa sebuah kebijakan seringkali dibuat atas dasar pengaruh kekuatan bisnis hingga mengabaikan kepentingan publik yang relatif memiliki kekuatan —dalam hal ini modal kapital— yang lebih kecil untuk mengadvokasi kepentingannya terhadap pembuat kebijakan. Apabila model perumusan kebijakan seperti ini terjadi, maka bukan saja kepentingan publik dikesampingkan akan tetapi juga memicu terjadinya praktik korupsi pada tataran pembuat kebijakan seperti suap atau konflik kepentingan.
 
Setidaknya terdapat dua alasan mengapa isu soal korupsi kebijakan perlu diperhatikan dalam kondisi Pandemi COVID-19 di Indonesia. Pertama, luas serta masifnya penyebaran virus menular ini berdampak pada banyak pemangku kepentingan. Mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pihak swasta dari segala sektor hingga seluruh lapisan masyarakat. Artinya, pemerintah sebagai pembuat kebijakan memiliki pekerjaan yang rumit untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut. Dengan tuntutan membuat kebijakan penanggulangan secara cepat, maka sangat dimungkinkan jika kepentingan yang terserap hanya kepentingan yang ada di sekitar pembuat kebijakan saja.
 
Hal ini diperparah dengan kesenjangan ekonomi yang masih tinggi di Indonesia. Kondisi dengan 1 persen orang terkaya menguasai separuh aset nasional adalah salah satu karakteristik kondisi yang dapat memicu kebijakan dibuat secara regulatory capture. Faktor kedua, fenomena praktik korupsi suap masih jamak terjadi. Hingga tahun 2019, lebih dari separuh tindak pidana korupsi yang ditangani KPK adalah perkara suap. Hampir sepertiga dari keseluruhan aktor yang dijerat adalah pihak swasta. Data tersebut juga menunjukkan masih tingginya risiko korupsi di Indonesia yang berdimensi “perselingkuhan” antara aktor pemerintah dan swasta.
 
Fase kedua adalah praktik korupsi pada implementasi kebijakan bencana. Berbagai kasus tindak pidana korupsi dalam kondisi bencana yang berhasil diungkap sebagian besar berada dalam fase ini. Modus yang terjadi diantaranya adalah menggelembungkan harga (mark up) pengadaan barang seperti yang menjerat salah satu bupati pasca terjadinya bencana tsunami di Aceh.
 
Modus lain adalah dengan pemberian fee proyek sebagaimana vonis terhadap anggota DPRD dalam kasus rehabilitasi gempa di Lombok. Praktik yang hampir serupa terjadi pasca bencana di Palu dan Donggala. Pada akhir tahun 2018 KPK meringkus pejabat Kementerian PUPR yang diduga menerima suap dari pihak kontraktor dalam proyek pembangunan air bersih. Di Jogja, penegak hukum juga banyak menjerat kepala desa maupun fasilitator sosial akibat adanya pemotongan dana bantuan rehabilitasi pasca gempa.
 
Catatan di atas menunjukkan banyaknya permasalahan korupsi dalam implementasi kebijakan terhadap kondisi bencana. Jika dikategorikan dari beberapa modus tersebut maka area rawan korupsi pada tahapan implementasi kebijakan bencana terdapat pada proses pengadaan dan penyaluran bantuan sosial. Dua area ini akan selalu menjadi favorit bagi oknum yang ingin mengambil kesempatan dalam kondisi bencana alam.
 
Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat jaring pengaman untuk mencegah terjadinya praktik korupsi dalam kondisi bencana kembali berulang. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan akuntabilitas publik. Sebagaimana mengacu pada teori Klitgaard (1998), korupsi akan semakin merajalela apabila monopoli kekuasaan serta diskresi pemerintah tidak disertai dengan akuntabilitas yang kuat. Transparansi baik dalam proses pembuatan kebijakan hingga pengadaan dan penyaluran bantuan sosial adalah salah satu aspek penting untuk meningkatkan akuntabilitas.
 
Cara lain yang bisa dilakukan pemerintah adalah membentuk satgas khusus yang berisi lembaga seperti KPK atau BPK untuk ikut andil mengawasi pengelolaan anggaran bencana yang jumlahnya tidak sedikit. Tanpa dua komitmen tersebut, maka celah korupsi dalam kondisi bencana akan sangat terbuka lebar dan akan menjadi makanan empuk bagi oknum yang tidak bertanggung jawab.


Caksana Institute